Nilai-nilai Sosial dan Eksistensi Ungkapan Larangan Minangkabau di Kalangan Generasi Muda di Kenagarian Sariak Laweh, Kecamatam Akabiluru Kabupaten 50 Kota

Penulis

  • Lucy Khairani
  • Marsis .

Abstrak

Minangkabau memiliki cara berbahasa yang unik. Dalam bahasa Minangkabau, terdapat sejumlah arti kias (metaforik). Kebiasaan masyarakat Minangkabau dalam menggunakan bahasa kias atau ungkapan dalam percakapan disebabkan karena struktur kekerabatan yang dekat sehingga setiap orang saling menghargai dan memahami. Sifat dan tingkah laku serta kepribadian seseorang akan tergambar dari bahasa dan tutur kata yang diucapkan, terutama dalam bentuk ungkapan tradisional Minangkabau (Nurmasni, 2005:5). Karya sastra dalam Minagkabau terdiri atas sastra lisan dan sastra tulis. Sastra lisan di Minangkabau terdapat beberapa jenis yaitu carito kaba, pantun, petatah-petitih, dan mantra. Pemilihan bahasa yang tepat, serta penyusunan kata secara teratur, membuat sastra Minagkabau sangat indah untuk didengar. Pada sastra Minangkabau makna yang terkandung di dalam setiap katanya juga memiliki keindahan sehigga banyak orang yang menyukainya, karena terdapat pesan yang terkandung memiliki keindahan tersendiri. Dilihat dari keberadaan ungkapan larangan, generasi muda sudah sedikit yang melestarikannya. Menurunnya eksistensi ungkapan larangan Minangkabau di kalangan generasi muda menyebabkan perlu dilakukan penelitian untuk mengetahui seberapa besar eksistensi ungkapan kepercayaan rakyat yang terdapat di Kanagarian Sariak Laweh. Ungkapan larangan tidak hanya dimiliki oleh masyarakat Sariak Laweh akan tetapi seluruh masyarakat Minangkabau. Yang membedakan hanyalah dari akibat yang ditimbulkan jika seseorang melanggar ungkapan tersebut. Hal inilah yang memotivasi penulis untuk meneliti ungkapan larangan agar tetap ada dan dikenal oleh masyarakat. Tujuan penelitian ini adalah mendeskripsikan nilai-nilai sosial dan eksistensi ungkapan larangan Minangkabau di kalangan generasi muda di Koto Malintang, Kenagarian Sariak Laweh, Kecamatan Akabiluru, 50 Kota. Ungkapan larangan termasuk kedalam foklor isan. Folklor lisan mengacu pada tradisi yang disampaikan melalui lisan dan diturunkan dari satu generasi ke generasi berikutnya. Folklor lisan sering disampaikan dengan gaya lisan tradisional. Ciri yang sering ditemukan dalam folklor ini adalah pencerita (sumber) biasanya akan menyajikan karyanya kepada pendengar dengan mengadakan pertemuan langsung, sehingga menghasilkan beberapa jenis pewarisan budaya yang mungkin juga pertukaran cerita dalam pertemuan tersebut. Menurut Danandjaja (1991:17-20), folklor lisan memiliki beberapa fungsi dalam kehidupan sehari-hari bagi masyarakat umum, yaitu: (1) mengungkapkan norma- norma perilaku masyarakat, (2) sebagai suatu ungkapan kritik atau dapat berupa protes sosial terhadap suatu kondisi kehidupan, (3) ungkapan pendapat masyarakat terhadap pemerintah, dan (4) mendidik dan menghargai nilai-nilai, gagasan, ide dari sebuah ke lainnya. Jenis- jenis yang termasuk ke dalam foklor lisan yakni: (1) bahasa rakyat (2) ungkapan tradisional (3) sajak (4) cerita rakyat (5) nyanyian. Nilai sosial adalah segala sesuatu yang dianggap baik dan benar, yang di inginkan masyarakat. Agar nilai-nilai sosial dapat tercipta dalam masyarakat, diperlukan norma sosial dan sanksi-sanksi sosial. Alfan (2013:243) mengatakan bahwa nilai sosial dapat dibedakan atas nilai sifatnya, yaitu nilai kepribadian, nilai kebendaan, nilai biologis, nilai kepatuhan hukum, nilai pengetahuan, nilai agama, dan nilai keindahan. Penelitian ini menggunakan metode mixed methods. Penelitian ini merupakan suatu langkah penelitian dengan menggabungkan dua bentuk penelitian yaitu penelitian kualitatif dan penelitian kuantitatif. Untuk pengumpulan data kualitatif sebagai berikut: Pertama menentukan informan yang memenuhi kriteria yang baik. Kedua, merekam dan mencatat pemakaian ungkapan larangan yang diperoleh ketika waktu wawancara dengan informan. Pengumpulan data kuantitatif sebagai berikut: Pertama mendata jumlah generasi muda yang berusia 17-25 tahun di Kanagarian Sariak Laweh, Kecamatan Akabiluru, 50 Kota, Kedua membagikan kuesioner kepada informan perwakilan generasi muda yang berusia 17- 25 tahun di Kanagarian Sariak Laweh, Kecamatan Akabiluru, 50 Kota. Responden pada penelitian ini adalah masyarakat serta generasi muda yang berdomisili di Kanagarian Sariak Laweh, Kecamatan Akabiluru, 50 Kota. Setelah data diperoleh, maka selanjutnya dilakukan analisis data menggunakan metode kualitatif dengan langkah-langkah berikut: (1) menterjemahkan data ke dalam bahasa Indonesia, (2) mengelompokkan data ke dalam nilai-nilai sosial, (3) menyesuaikan data dengan kata kunci dari ungkapan larangan Minangkabau sesuai dengan pendapat Alfan (2013). Setelah data kualitatif diperoleh, maka selanjutnya dilakukan analisis data menggunakan metode kuantitatif. Untuk mengetahui tingkat pencapaian responden (TCR) dan menghitung tingkat capaian responden digunakan rumus yang dikembangkan Sugiono (2010:74) Berdasarkan pengumpulan data, ditemukan sebanyak 40 ungakapan larangan Minangkabau. Ungkapan larangan Minangkabau di Kanagarian Sariak Laweh, Kecamatan Akabiluru, Jorong Koto Malintang, 50 Kota mempunyai nilai-nilai sosial yaitu: nilai kepribadian, nilai biologis, nilai pengetahuan, nilai agama, dan nilai keindahan. Nilai kepribadian yang ditemukan sebanyak 14 data yaitu data. Nilai kebendaan tidak ditemukan pada ungkapan larangan di Kanagarian Sariak Laweh, Kecamatan Akabiluru, Kabupaten 50 Kota. Nilai kepatuhan hukum tidak ditemukan pada ungkapan larangan di Kanagarian Sariak Laweh, Kecamatan Akabiluru, Kabupaten 50 Kota. Nilai pengetahuan yang ditemukan sebanyak 3 data. Nilai keindahan ditemukan sebanyak 4 data. Hasil dari responden tingkat TCR untuk mendengar 0.59. Untuk tingkat TCR generasi muda dalam memahami ungkapan larangan adalah 0.63. Untuk tingkat TCR generasi muda dalam menerapkan ungkapan larangan adalah 55.28. Berdasarkan informasi di lapangan, ungkapan larangan di Kanagarian Sariak Laweh, 50 Kota sudah hampir hilang dikalangan generasi muda. Ungkapan larangan di Kanagarian Sariak Laweh, 50 Kota hanya diketahui oleh pemuka masyarakat, orang yang mengerti adat, dan orang tua terdahulu. Ungkapan larangan yang jarang dipahami adalah Jan lalok sanjo, sakik beko (’jangan tidur senja, sakit nanti’), selain itu terdapat juga ungkapan larangan yang dipahami Indak buliah managakan rumah diateh parumahan lasuang, beko disamba patuih (‘tidak boleh mendirikan rumah diatas perumahan lesung, nanti disembar petir’), dan terdapat ungkapan larangan yang jarang diterapkan yaitu ungkapan larangan Jan mamotong kuku dimalam hari, beko rabun mato (‘jangan memotong kuku dimalam hari, nanti buta mata’). Beberapa ungkapan di atas sulit dipahami, jarang didengar, dan jarang diterapkan lagi oleh generasi muda karena generasi muda karena generasi muda tidak percaya dengan akibat yang ditimbulkan karena mereka melanggar ungkapan-ungkapan larangan tersebut. Jika dibandingkan dengan hasil penelitian Nella Nurdia (2015) di Kenagarian Lubuk Pandan Kecamatan 2 X 11 Enam Lingkung Kabupaten Padang Pariaman, ditemukan perbedaan bentuk ungkapan di kedua nagari, walaupun larangannya sama. Misalnya, di Kanagarian Sariak Laweh, Kecamatan Akabilur, 50 Kota terdapat ungkapan Indak buliah mangarek kuku dimalam hari beko rabun mato (Tidak boleh memotong kuku malam hari nanti buta mata). Di Kenagarian Lubuk Pandan Kecamatan X 11 Enam Lingkup Padang Pariaman berbentuk Indak buliah mangarek kuku dimalam hari beko dek bajang awak (Tidak boleh menggunting kuku malam hari nanti gores-gores badan kita). Adapun faktor penyebab terjadinya perbedaan pada ungkapan larangan Kenegarian Lubuk Pandan Kecamatan X 11 Enam Lingkup padang pariaman adalah adanya variasi penduduk di dua Nagari tersebut. Dengan kata lain, perbedaan yang terjadi karena seorang atau sekelompok orang penutur bahasa yang memiliki kepercayaan yang berbeda sehingga menyebabkan perbedaan pada ungkapan larangan. Fungsi dari ungkapan larangan di Pada penelitian di Kenegarian Lubuk Pandan Kecamatan X 11 Enam Lingkup Padang Pariaman dengan Kenagaraian Sariak Laweh Kecamatan Akabiluru, 50 Kota sama sama memiliki fungsi untuk melarang dan mengajar anak serta kemenakan. Selanjutnya penelitian dilakukan oleh Sri Puspita Willa (2016) “Ungkapan Larangan Dalam Bahasa Minangkabau Masyarakat Koto Berapak Kecamatan Bayang Kabupaten Pesisir Selatan”. Berdasarkan temuan dan pembahasan ditemukan empat puluh ungkapan larangan pada masyarakat Koto Berapak Kecamatan Bayang Kabupaten Pesisir Selatan. Penelitian ini mendeskripsikan tentang kategori, fungsi dan makna yang ada dalam ungkapan larangan, dimana kategorinya difokuskan pada lingkaran hidup manusia. Pada ungkapan larangan di Koto Berapak Kecamatan Bayang Kabupaten Pesisir Selatan dengan Kanagarian Sariak Laweh, Kecamatan Akabiluru, 50 Kota memiliki 4 perbedaan ungkapan larangan salah satunya pada ungkapan larangan Urang hamil jan duduak di pintu, tasakang anak (orang hamil jangan duduk di pintu susah melahirkan). Fungsi yang ditemukan pada penelitian ini terdiri atas: sebagai penebal emosi keagamaan, sebagai alat pendidikan anak.

##submission.downloads##

Diterbitkan

2023-03-08