FESTIVAL KANTOU DAN PELESTARIANNYA

Authors

  • Fransiska Dwi Seniyanti Universitas Bung Hatta
  • Irma Universitas Bung Hatta
  • Dewi Kania Izmayanti Universitas Bung Hatta

Abstract

Festival Kanto adalah festival lentera yang berbentuk seperti tambak padi. Festival ini terbuat dari palang bambu yang berbentuk horizontal. Di palang bambu dipasangi lentera yang dihiasi dengan lilin yang berada di dalam lentera itu. Kanto memiliki berat sampai 46 kilogram dengan ketinggian 12 meter dan diangkat menggunakan skill oleh para pemain. Festival ini merupakan salah satu festival tahunan terbesar yang dilestarikan masyarakat wilayah Tohoku di Prefektur Akita, sebagai sebuah festival tahunan dimusim panas. Festival Kanto terlahir dari festival Obon dengan simbol lentera dan asal usul Kanto dianggap sebagai Neburi Nagashi, merupakan acara untuk mendoakan hasil panen yang melimpah dan kesuksesan bagi kesenian masyarakat dengan ajang perlombaan untuk adu skill dan kekuatan mengangkat lentera. Ada lima skill dalam festival ini, yaitu Nagashi, Hirate (tangan), Koshi (pinggul), Kata (bahu), dan Hitai (dahi). Para pemain menunjukan skiil tersebut di dalam diameter 6 meter, dan para peserta harus menjaga keseimbangan dari lentera tersebut. Sebagai sebuah matsuri, festival Kanto memiliki dua aspek besar. Aspek pertama adalah komunikasi di antara para dewa dengan manusia, sedangkan aspek yang kedua yakni komunikasi di antara para peserta matsuri itu sendiri. http://www.kantou.gr.jp Teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori religi dari [1] Koentjaraningrat yang menyatakan konsep religi yang menyatakan sebagai Sistem ritus dan upacara dalam suatu religi mewujudkan aktivitas dan tindakan manusia dalam melaksnakan kebaktian terhadap Tuhan, dewa-dewa, roh nenek moyang, atau makhluk halus lain dalam usahanya untuk bekomunikasi dengan Tuhan dan penghuni gaib lainnya. Teori pelestarian dari [2] Eko yang menyatakan upaya untuk membuat sesuatu tetap selama-lamanya tidak berubah. Bisa pula didefinisikan sebagai upaya untuk mempertahankan sesuatu supaya tetap sebagaimana adanya. Kemudian teori pelestarian menurut [3] A.W widjaja yang menyatakan kegiatan atau yang dilakukan secara terus menerus, tearah dan terpadu guna mewujudkan tujuan tertentu yang mencerminkan adanya sesuatu yang tetap dan abadi, bersifat dinamis, luwes, dan selektif. A.W widjaja juga menyatakan bahwa pelestarian budaya lokal adalah mempertahankan nilai-nilai seni budaya, nilai tradisional dengan mengembangkan perwujudan yang bersifat dinamis, luwes dan selektif, serta menyesuaikan dengan situasi dan kondisi yang selalu berubah dan berkembang. Penelitian terdahulu yang telah dilakukan terkait dengan objek yang diteliti adalah Herniwati “Masyarakat Jepang Memaknai Matsuri didalam Kehidupannya” dan Putri Avicena “perayaan obon matsuri pada masyarakat Jepang dewasa ini”2017.

References

A.W.Widjaja.1986. Komunikasi dan Hubungan Masyarakat. Jakarta : Bina Aksara.

Endarnoko, Eko.2006. Tesaurus Bahasa Indonesia. Jakarta:Gramedia.

Koentjaraningrat.1987.Pengatar Ilmu Antropologi.Jakarta:Rineka Cipta.

Federation of Akita Prefektur Chambers of Commers and industri.2016. 秋田ふうさと検定. Akita

Yamakawa.2012. Akitaken no Rekishiki sanpo Hensyuuiinkai. Akita: Akita

Downloads

Published

2021-03-29